Dingin. Itu yang kurasakan saat menatap wajahnya. Sama sekali tak ada
emosi di sana. Yang ada hanyalah gambaran sebuah kebekuan. Beberapa jam
yang lalu aku masih melihat tawa di wajahnya, senyumnya. Saat itu ia
tampak sangat cantik, sebegitu cantiknya hingga jantungku berdegup
kencang setiap kali bertatapan dengan matanya.
“Kenapa kamu bertanya demikian? Kamu merusak mood-ku saja.”
“Maaf. Aku tak bermaksud membuatmu tersinggung.”
Ia menatapku. Tak ada debaran seperti tadi. Justeru bulu kudukku meremang.
“Kamu mau mengantarku pulang sekarang?” Dua puluh menit kemudian kami
sudah dalam perjalanan. Tak ada satupun yang membuka pembicaraan. Kurasa
ia sibuk memikirkan tentang semua ketidaknyamanan yang telah
kutimbulkan, sementara aku sendiri mungkin terlalu malu untuk
memulainya. Waktu membawa keheningan. Aku menekan pedal gas dan
menyetir, tanpa sedikitpun tahu kemana aku harus menuju.
“Kamu mau kemana ini?”
“Tak tahu,” kataku.
“rumahmu di mana?”
“Terus saja sampai ke simpang Semangka.”
“Baiklah.” Itu saja. Setelah itu keheningan kembali di antara kami.
Jalanan tampak lengang. Tak heran, ini sudah pukul setengah satu pagi,
dan menjelang hari raya, nyaris semua orang pergi berlibur. Aku
melajukan mobilku dengan kecepatan enam puluh kilometer perjam.
Kupikir, mungkin masih ada kesempatan bagiku memperbaiki keadaan sebelum
ia turun dari mobilku. Kalau sampai ia turun sebelumnya, aku tak yakin
akan menjumpainya lagi di lain kesempatan. Terus terang saja, ia
membuatku tertarik. Aku berjumpa dengannya di resepsi pernikahan
sahabatku, kurang lebih empat jam yang lalu. Waktu itu kulihat ia
berdiri sendiri di depan pintu lorong yang menghubungkan ballroom dengan
dapur. Di tangannya sebuah gelas berisi lemon tea yang tinggal
setengah.
Saat pertama aku melihatnya, aku merasa tertarik. Ia memiliki sesuatu
yang membuatku tak jenuh kala memandangnya. Ketika kuhampiri, ia
tersenyum padaku. Kami lalu berkenalan dan berjabat tangan. Seperempat
jam kemudian setelahnya, kami sudah saling bercanda tentang setiap orang
yang menghadiri resepsi tersebut. Bahkan pengantinnya. Canda itu
membuat kami serasa sudah saling mengenal selama bertahun-tahun.
Akhirnya aku menawarkan untuk mengantarnya pulang. Namun bukannya
langsung pulang, di jalan ia memintaku untuk berhenti di Dunkin’s.
Canda dan tawa kami teruskan di sana. Sampai akhirnya aku merusak suasana dengan pertanyaanku.
“Stop!” serunya, membuyarkan lamunanku. Aku menepikan mobil dan menginjak rem.
“Ada apa?” tanyaku. Ia menoleh dan memandangku.
“Suasana yang tak menyenangkan, kurasa,” ucapnya.
“Kurasa juga demikian. Mau memaafkanku?” Ia menatap mataku lama. Lalu
secara tiba-tiba kekakuannya berubah menjadi sebuah senyuman tipis.
“Tentu saja,” katanya,
“aku juga minta maaf. Kurasa aku terlalu emosionil.”
“Tak apa-apa,” balasku tersenyum. Lalu ia tertawa.
“Apa yang lucu?” tanyaku.
“Tidak, wajahmu barusan, seperti anak kecil yang baru saja memecahkan
kaca jendela. Bagaimana aku tidak merasa lucu?” Aku ikut tertawa juga
mendengar pemikirannya tentangku. Saat aku memindah perseneling,
jemarinya terangkat dan menggenggam pergelangan tanganku. Kuangkat
kepalaku dan memandangnya.
“Ada yang salah?” tanyaku.
“Tidak. Kamu akan mengantarku pulang, bukan?”
“Tentu saja. Seperti apa yang kau mau.”
“Hmm. Ajak aku ke rumahmu.” Aku terkesiap. Kupandang wajahnya. Ia tersenyum memandangku.
“Tunggu,” kataku, “aku tidak…”
“Sebaiknya cepat-cepat sebelum aku berubah pikiran.” Ia melepaskan
genggamannya di tanganku. Setelah itu ia berpaling menatap ke luar
jendela samping. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya-dan di
pikiranku juga. Tapi akhirnya kutekan pedal gas dan melajukan mobil
menuju rumahku.
“Well, home sweet home,” ucapku setelah menghentikan mobil di tepi
trotoar. Kulihat ia memperhatikan rumah kecilku dengan seksama.
“Well juga, kamu akan menurunkanku di sini, atau memasukkan mobilmu
dulu?” Aku kembali menatapnya, menunggu satu kalimat yang mungkin bisa
menjelaskan mengapa aku ada di sini sekarang bersamanya. Tapi tidak ada.
Ia hanya balas menatapku dengan alis terangkat seolah mengulangi
pertanyaan yang baru diajukannya. Akhirnya kubuka pintu mobil dan
melangkah keluar. Ia mengikutiku.
“Maaf. Berantakan. Ini rumah bujangan,” kataku begitu aku melangkah
masuk ke dalam ruang tamu. Kutekan saklar lampu. Ruang tamu yang semula
gelap menjadi terang dan terasa hangat.
“Tidak apa-apa. Bagiku ini cukup rapi,” kudengar ia berkata dari
belakang. Kulepas jasku dan meletakkannya di atas buffet, lalu aku
berjalan menuju bar kecil di ruang dapur.
“Mau minum apa?”
“Air putih,” ia berseru dari ruang tamu. “Dingin kalau bisa.”
Saat aku kembali dengan dua gelas air dingin, kulihat ia sudah membuat
dirinya nyaman di ujung sofa L. Ia sudah melepas cardigan birunya. Dari
balik kemeja putih tipis yang ia kenakan, aku bisa melihat bayangan
bra-nya. Pahanya dan betis yang putih terlihat saat ia mengangkat
sebelah kakinya ke atas kaki yang lain. Cepat-cepat kualihkan
pandanganku.
“Ini,” ucapku seraya menyodorkan gelas di tanganku.
“Thanks,” katanya sambil tersenyum. Kulihat lehernya yang putih
bergerak-gerak saat ia menghabiskan setengah dari isi gelasnya. Aku
mengambil tempat satu sekat kursi dari tempat ia duduk. Air dingin
membuatku terasa lebih segar.
“Ruang tamu yang nyaman,” ucapnya beberapa saat setelah kuletakkan gelasku ke atas meja. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Yah, lumayan. Setidaknya cukup untuk menghabiskan sore sambil membaca novel.”
Ia bangkit berdiri dan melangkah menghampiri stereo-set di celah rak buku.
“Apa kerjamu tadi?”
“Di sebuah perusahaan distributor material bangunan.”
“Oh ya, aku lupa. Lumayan juga penghasilanmu.”
“Cukup untuk seorang diri.”
“Let’s see. Indra Lesmana? Paul Anka? Instrumental Love Songs. Hey, seleramu lembut juga. Kamu suka mendengar semua ini?”
“Setiap pulang kerja.” Ia lalu memasukkan satu CD ke dalam deck, lalu
memencet beberapa tombol dengan raut percaya diri. Tak berapa lama
kemudian, alunan instrumental Oriega mengalun.
“Pilihan yang bagus,” ucapku tersenyum. Ia membalikkan tubuh dan
membungkuk. Tangan kirinya menekuk ke dalam, sementara tangan kanannya
terangkat, persis sikap menghormat bangsawan-bangsawan Eropa. Aku
tertawa melihatnya.
“Shall we dance?” katanya, membuat tawaku berhenti.
“Wah,” kataku, “aku tak bisa dansa.”
Ia mengangkat tubuhnya dan tersenyum.
“Tidak apa-apa. Asal jangan tiga kali menginjak kakiku.”
“Mungkin lebih.”
“Ayolah. Jangan buatku kecewa.”
Aku tertawa dan bangkit dari sofa, lalu mendekatinya. Kedua lengannya
terbuka saat aku berhadap-hadapan dengannya. Kikuk, kuraih tangan
kanannya dengan jemariku. Ia tertawa geli.
“Bukan, bukan begini. Tapi begini,” katanya seraya menurunkan lenganku
yang terangkat. Ia menuntun tanganku hingga melingkar di pinggangnya,
lalu kedua lengannya sendiri memeluk leherku. Saat itu wajahku begitu
dekat dengannya, hingga bisa kucium aroma cologne dari lehernya. Saat
kutarik kepalaku sedikit ke belakang, ia tertawa.
“Kamu begitu kikuk. Benar rupanya, kau tak bisa berdansa.”
Aku mendengus malu. Sedikit berdebar kemudian, saat ia merapatkan
tubuhnya ke tubuhku. Buah dadanya menekan dadaku, membuatku bingung.
“Tenang,” bisiknya. Tubuhnya lalu bergerak ke kiri dalam ayunan yang lembut.
“Ikuti saja iramanya,” ia berbisik lagi. Aku berusaha sebisa mungkin. Alunan instrumen membuatku terlena beberapa saat kemudian.
“Kamu terangsang,” ia berbisik tiba-tiba. Aku terkesiap, sadar kalau
pada kenyataannya aku memang terangsang hebat. Gerakan tubuhnya yang
menempel di tubuhku, aroma wewangian dari kulitnya. Kudorong pinggangnya
sedikit menjauh. Pelukannya di leherku terlepas. Kulihat ia tersenyum
menatap selangkanganku yang sudah terlihat menonjol. Wajahku memanas.
“Maaf,” kataku, “aku tak bermaksud…”
“Kamu masih perjaka,” bisiknya memotong sambil tersenyum. Dengan alis berkerut kugelengkan kepalaku.
“U-uh. Tidak. Aku sudah tidak perjaka. Tapi…”
“Tidak, kamu masih perjaka,” ia berbisik lagi. Kali ini senyumnya melebar. Lalu tiba-tiba ia tertawa kecil.
“Kamu lucu.”
“Hey !” protesku. Kubalikkan tubuhku dengan kesal, lalu melangkah kembali ke sofa. Masih kudengar ia tertawa di belakangku.
“Perjaka. Aku bertaruh kamu pasti bingung apa yang harus kaulakukan pada
seorang wanita yang mendadak berada di rumahmu pada jam satu pagi.”
“Terserah apa katamu,” gumamku, lalu menghempaskan tubuhku di atas sofa.
Terus terang saja, aku benar-benar jengkel. Tuduhan semacam itu tidak
kusukai. Kulihat ia masih berdiri menghadapku dengan senyum di depan
stereo set. Kualihkan pandanganku ke arah gelas di atas meja.
“Kamu marah?” kudengar ia bertanya. Aku mendiamkannya. Lalu kudengar
langkahnya mendekat. Kurasa gerakan sofa saat ia duduk di sebelah
kananku.
“Hey, jangan cemberut begitu. Maaf kalau membuatmu tersinggung. Kita
impas?” Aku menoleh dan melihat ia masih dengan senyumnya menatapku.
Lalu ia menarik sebelah kantung matanya dengan jemari telunjuk, sambil
mengeluarkan lidah. Mau tak mau aku tertawa juga melihatnya.
“Perjaka,” bisiknya dengan tersenyum.
“Hey !” seruku. Tapi rasa jengkelku sudah hilang.
“Maaf, aku hanya menggoda.”
“Jangan lagi.”
“Tentu tidak,” sahutnya. Aku baru sadar, bahwa jarak antara wajahku
dengan wajahnya hanya sekitar tiga puluh senti. Wajahku memanas lagi.
Saat aku bergerak hendak bergeser, jemarinya meraih lenganku.
“Jangan menjauh.” Aku menoleh dan memandangnya. Ia menatap mataku.
Kemudian ia bergerak. Ia mencium bibirku. Sebentar. Lembut. Saat ia
melepaskan bibirnya dari bibirku, kutatap wajahnya dengan perasaan tak
karuan. Ia menarik bibirnya, tersenyum dan berkata, “Aku tidak melakukan
sesuatu yang salah, bukan?”
Aku tak tahu harus berkata apa. Saat aku terdiam, tubuhnya bergeser lagi
semakin rapat, lalu ia mengangkat kepalanya dan mengecup bibirku sekali
lagi.
Kali ini lebih lama daripada yang tadi. Lonjakan-lonjakan jantungku
membuat mataku terpejam. Bibirnya begitu lembut di bibirku. Rasa lemon
bercampur aroma wewangiannya. Aku terlena saat bibirnya memagut bibirku.
Secara otomatis lenganku terangkat dan memeluknya. Ia menjauhkan
sedikit bibirnya dan mendesah, lalu kembali memagutku. Yang kurasakan
selanjutnya adalah birahi yang memuncak. Entah berapa lama kami
berpagutan, dengan kedua lenganku memeluk tubuhnya. Kesadaranku sudah
nyaris hilang.
“Tunggu,” ia berbisik, menjauhkan dirinya dariku. Segenap otot di
tubuhku melemas. Kupandang ia dengan hasrat yang menggebu. Ia tersenyum
menatapku, lalu jemarinya bergerak menuju kancing-kancing bajunya.
Nafasku tercekat saat ia melepas baju putih tipisnya. Kedua buah dadanya
terlihat menyembul dari balik bra krem yang ia kenakan. Kulit yang
putih dan halus itu membuat darahku berdesir.
“Kamju sudah pernah melakukannya?”
“Uh, apa? Belum.. ah… sudah..tentu..” Ia tertawa. Jemarinya bergerak
lagi. Kali ini ia menarik salah satu tali bra-nya hingga terjatuh sampai
ke lengan. Aku tak tahan lagi. Kugeser tubuhku mendekat.
“Aku…”
“Ssshhh,” jemari telunjuknya menempel di bibirku.
“Aku..,” desahku lagi. Kuangkat lenganku dan memajukan tubuhku, berusaha
memeluk dan menciumnya. Tapi kedua lengannya menahan pundakku.
“Relaks,” bisiknya di depan bibirku.
“jangan buru-buru.” Ia benar-benar membuatku tak tahan saat ia menarik
tali bra-nya yang lain. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat, hingga
dadanya menempel di lenganku. Pandanganku tak beralih sedikitpun dari
wajahnya yang tersenyum. Nafsuku sudah meledak-ledak. Tapi pandangan
matanya membuatku terpaku. Tanpa sadar aku mengerang saat jemarinya
menempel di selangkanganku.
“Berdiri,” ia berbisik di telingaku. Ia menarik kedua kakinya ke atas
sofa, hingga sekarang ia dalam posisi berlutut di sampingku. Nafsuku
membuatku memalingkan wajah dan menciumi kulit perutnya, sementara
sebelah lenganku merangkul pinggangnya. Ia terkekeh.
“Hey, geli. Jangan bergerak. Atau aku pakai baju lagi.” Mengerang,
kutarik tubuhku. Ia tertawa. Lengannya terulur lagi, kali ini menarik
zipper celanaku ke bawah. Aku memandangi jemarinya yang menyusup masuk
dengan rasa senang yang aneh.
Kupejamkan mataku dan mendesah saat jemarinya menemukan batang kemaluanku yang menegang.
“Nice,” ia berbisik di pipiku. Kutolehkan kepalaku dan meraih bibirnya.
Ia membalas pagutanku dengan gerakan mengulum yang lembut. Jemarinya
lalu mengelus batang kemaluanku. Ia melepaskan bibirnya dan menggeleng,
saat aku bergerak hendak memeluknya.
“Jangan,” bisiknya sambil tersenyum. Saat itu jemarinya sudah masuk ke
dalam celana dalamku, mengelus, lalu menggenggam batang kemaluanku.
“Aku suka,” bisiknya sekali lagi. “pejamkan matamu.”
Saat kupejamkan mataku, kenikmatan tiada tara merasukiku, kala ia menggerakkan jemarinya yang menggenggam batang kemaluanku.
“Ahhh..,” erangku. Kurasakan jemari tangannya yang lain meraih tanganku.
“Letakkan tanganmu di sini,” bisiknya. Kurasakan jemariku menempel di
dadanya. Kusentuh buah dadanya dengan jemariku, lalu kususupkan ke balik
bra-nya. Ia mendesah saat kutemukan puting buah dadanya. Jemarinya
bergerak sedikit lebih cepat, membuatku mengerutkan wajah, menahan
nafsuku sendiri.
“Shit,” bisikku, membuka mata, menundukkan tubuhku, lalu menciumi buah
dadanya. Kutarik bra-nya ke bawah, lalu dengan rasa yang tak karuan
kukecup puting buah dadanya.
“Ahhh,” ia mendesah saat kulakukan itu. Nafsuku tak tertahan lagi,
kuputar tubuhku menghadapnya, dan kupeluk ia. Genggamannya di batang
kemaluanku terlepas. Aku tak perduli. Kuciumi ujung buah dadanya yang
telanjang di depanku.
“Ssshhh,” ia mendesis. Kutekan tubuhku ke tubuhnya, hingga separuh tubuh
kami bertindihan di atas sofa. Ia tertawa kecil saat kugigit kulit
dadanya. Dengan gerakan yang mengesalkan, ia lalu mendorong tubuhku
menjauh menggunakan kedua tangannya.
“Buka bajumu,” ucapnya sambil tersenyum. Aku cepat-cepat melakukan apa
yang dimintanya. Tak berapa lama kemudian aku sudah duduk dalam keadaan
telanjang bulat. Ia memandangku dengan bibir setengah terbuka.
“Kamu…,” ucapku. Terhenti karena aku tak ingin melakukan kesalahan apapun.
Ia tertawa. Katanya, “Help me?”
“Ahh,” desahku, lalu mengulurkan kedua lenganku, menyusupkannya ke balik
pinggulnya, berusaha mencari pengait span yang ia kenakan.
“Hey, jangan kasar-kasar.”
“Maaf..maaf…,” ucapku terbata-bata. Ia tertawa lagi. Kupikir akulah si
keledai dungu itu, yang mengaku sudah pernah bercinta, ternyata seperti
anak kecil di atas tempat tidur. Dengan sedikit gugup-diiringi tawanya
yang tiada henti-akhirnya aku berhasil membuka semua pakaian yang
dikenakan olehnya.
“My God,” desahku tanpa sadar. Di depan mataku, saat ia membuka pahanya, kulihat sesuatu yang membuatku terpana sesaat.
“Hey, kamu akan mengamati terus?” ia berkata sambil tertawa. Lengannya terulur meraih pundakku.
“Aku…aku ingin melihat..,” bisikku tanpa memandang wajahnya. Ia
melepaskan tangannya. Kudekatkan kepalaku. Dengan jemariku, kuraba
bulu-bulu kemaluannya yang tersusun rapi.
Aku terpesona. Sejujurnya, baru kali itulah aku menyaksikan kemaluan
seorang wanita dari dekat. Dan ianya begitu luar biasa, begitu menantang
kelaki-lakianku, membuat darahku mengalir lebih cepat dan lebih cepat.
“Kamu bisa menikmatinya, selama kau mau,” kudengar ia berkata. Aku
merasa malu sendiri. Jelas sudah ia mengetahui kalau aku memang masih
perjaka. Dengan wajah memerah, kulepaskan pandanganku dari bibir
kemaluannya yang merah dan basah.
Kutarik tubuhku ke atasnya. Kulihat ia memandangku, masih dengan senyuman di bibirnya.
“Kamu akan melakukannya sekarang? Kuharap tidak,” desisnya kemudian. Aku
memandangnya heran. Ia lalu mengulurkan lengannya dan mengelus pipiku
dengan jemarinya. Katanya, “Aku masih ingin dibelai dan dikecup.” Aku
tersenyum dan mengangguk. Kuturunkan tubuhku dari sofa, lalu berlutut di
samping tubuhnya yang terlentang. Kubungkukkan punggungku, meraih
puting buah dadanya dengan bibirku.
Ia meraih tangan kananku, dan meletakkannya di permukaan bulu
kemaluannya. Secara otomatis, jemariku mulai meraba dan menjelajahi
bagian terintim dari tubuhnya. Kudengar ia mendesah dan mengerang setiap
aku mengusap bibir kemaluannya. Tangan kanannya lalu turun dan meraih
batang kemaluanku yang tegang. Kenikmatan yang luar biasa, saat ia
memainkan jemarinya di sana. Kupejamkan mataku, menghisap buah dadanya,
dan memainkan jemariku. Ia menggelinjang saat kumemasukkan jari tengahku
ke liangnya.
“Sekarang…,” ia mendesah lirih beberapa menit kemudian. Aku melepaskan
pagutanku, menarik jariku keluar dan bangkit berdiri. Ia menatapku.
Tiba-tiba tangannya terulur lagi, menahan tubuhku.
“Tunggu,” katanya sambil tersenyum. “aku ingin mengecupmu.”
Kutatap ia dengan alis berkerut. “Jangan,” kataku. “Aku tak suka.”
Tapi seolah tak mendengarku, jemarinya meraih batang kemaluanku. Aku
mundur selangkah, berusaha menghindarinya daripada melakukan hal yang
tak pernah kusukai saat menyaksikan film-film blue atau mendengar cerita
teman-temanku- bahkan membayangkan melakukannya saja selama ini
membuatku ingin muntah. Ia menoleh dan menatapku dengan heran. Beberapa
saat kami saling pandang sampai akhirnya ia tersenyum.
“Baiklah,” ucapnya, “ke sini. Let’s fuck.”
“Aku tak suka istilahmu.”
“Terserah. Mau tidak ? Kalau tidak kita sudahi saja.”
Kutatap ia dengan wajah berkerut. Sedikit kekecewaan timbul di hatiku.
Semua kesan romantisme hilang dalam sekejap. Ia seolah tak
memperdulikanku, menolehkan kepalanya ke sisi yang lain.
“The hell,” desisku. Nafsuku sudah sampai ke ujung. Tidak sekarang, maka
takkan lagi. Sedikit gusar aku melangkah mendekatinya, lalu menarik
sebelah pahanya. Ia menoleh, alisnya berkerut saat memandangku.
“Kasar,” bisiknya. Nada tak senang terdengar saat ia berucap. Aku tak
perduli. Kuangkat tubuhku ke atasnya, dengan sebelah kaki menopang di
sofa, dan sebelah lagi menopang di lantai. Kutatap matanya. Ia balas
menatapku. Kami saling terpaku beberapa saat, sebelum akhirnya ia
berkata, lebih mirip desis gusar,
“Kamu hanya mau diam begitu?”
“Sial,” makiku. Kulebarkan pahanya, dan sambil memegang batang
kemaluanku dengan satu tangan, kutekan batang kemaluanku ke bibir
kemaluannya. Ia menghentakkan kepalanya ke belakang. Bibirnya
mengeluarkan suara erangan.
“Arrrgghh.” Aku sudah gelap mata. Emosi dan nafsuku campur aduk. Aku
bukan anak kecil, ucapku dalam hati, aku orang dewasa. Aku belum pernah
bercinta, itu benar. Tapi jangan memperlakukanku seperti orang bodoh.
Kutekan pinggulku kuat-kuat ke depan. Ia mengerang lagi. Kurasakan sesak
yang luar biasa. Tak perduli, kutekan lagi pinggulku. Ia mengulurkan
tangannya, berusaha mendorong perutku. Kutepis lengannya.
“Jangan hentikan aku,” desisku. Kutekan lagi pinggulku lebih kuat.
Akhirnya, dengan rasa nyeri di ujung, batang kemaluanku melesak. Aku
mengerang, menahan ekstasi yang merambati seluruh sarafku.
“Ahkkk,” ia mendesah. Kepalanya terangkat. Matanya menatapku. Aku
terkejut saat melihat ada air mata di situ. Aku hendak menarik tubuhku
saat ia meraih lenganku.
“Jangan. Jangan berhenti. Teruskan.” Aku tak tahu apa maunya sebenarnya.
Tapi akhirnya, dengan memejamkan mata, kugerakkan pinggulku, maju dan
mundur. Kudengar ia mengerang dan mendesah, seirama dengan gerakan
pinggulku.
Kegelian bercampur kenikmatan membuatku terbang ke awang-awang
imajinasiku. Segala sesuatu melintas seketika. Semua yang sudah kulalui.
Pengalaman-pengalaman seksual ala sabun itu. Kini keinginanku menjadi
kenyataan. Di sini. Bersama wanita ini. Persetubuhan pertamaku. Sejuta
kesan yang tiada pernah lengkap diurai dengan kata-kata. Ia lalu meraih
leherku, melingkarkan kedua betisnya di pinggangku. Ia menekan tubuhku
hingga merapat ke tubuhnya. Bibirku bergerak sendiri meraih bibirnya.
Kami berpagutan, sesekali saling menggigit. Pinggulku bergerak dan
bergerak, pori-poriku meresapi semua kenikmatan yang bisa diraihnya.
Mendesah dan mengerang. Geliat dan keringat yang bercampur.
“Ahkk,” erangku. Kurasakan nafsuku sudah mencapai klimaksnya. Ia menjambak rambutku. Bibirnya berbisik-bisik tak karuan.
“Jangan ! Jangan dulu…aahhkk…”
“Shiitt !!” erangku memaki, lalu melepaskan tubuhku dari pelukannya.
Kuraih batang kemaluanku dan menariknya keluar, persis seperti yang
sering kusaksikan di film-film blue. Sedetik setelah kutarik, saripatiku
keluar, menyembur ke atas bulu-bulu kemaluannya. Mataku terpejam
menahan kenikmatan yang tiada tara. Saat kubuka mataku, kulihat ia
menatapku.
Nafasnya masih terengah. Alisnya berkerut, bibirnya setengah terbuka,
seolah hendak mengatakan sesuatu. Kelelahan sudah merasuk ke dalam
tulang sumsumku. Mataku berkunang- kunang beberapa saat kemudian. Batang
kemaluanku melemas dengan sendirinya.
“Aku..ah… maafkan,” bisikku setelah sadar bahwa aku terlalu cepat
baginya. Sudah sering kudengar tentang hal ini dari canda teman-temanku.
Aku malu seketika. Ia masih menatapku tanpa berkata apapun. Tapi
kerutan di alisnya menghilang, saat lengannya terulur ke arahku.
“Mau kau tidur di dadaku?” kudengar ia berbisik padaku. Sambil tersenyum
lega, kuanggukkan kepalaku. Lalu kubaringkan tubuhku di atas tubuhnya.
“Thanks,” bisikku padanya. Kurasakan jemarinya menyisiri rambutku.
“Sori,” bisikku sekali lagi.
“Tak apa-apa. Aku tahu.”
“Aku sedikit kasar. Aku pasti membuatmu sakit.”
“Tak apa-apa juga. Aku bisa mengerti hal itu.”
“Kamu marah?”
“Kalau marah, aku takkkan memintamu tidur di dadaku.”
Aku tersenyum saat mendengarnya berkata demikian.
“Apa yang akan terjadi selanjutnya?” tanyaku lirih.
“Selanjutnya, aku menyuruhmu terlelap.” Ia lalu berhenti menyisiriku,
kemudian memelukku. Kurasakan kehangatan kulitnya dan kelembutan
tubuhnya membuatku nyaman. Kupejamkan mataku. Tepat sebelum aku
terlelap, kubisikkan sebuah pertanyaan padanya.
“Kamu akan menghilang besok pagi?” Kudengar ia tertawa lirih.
Katanya, “Mungkin. Tapi aku akan kembali.”
“Aku akan kembali,” bisiknya mengulang. Mungkin aku sedang bermimpi,
saat kudengar ia bersenandung seolah menidurkanku. Lalu aku terbang ke
alam fantasi. Fantasi tentang hari yang begitu luar biasa, saat aku
kehilangan keperjakaanku di tangannya. Wanita itu. Ia.
Pagi menjelang.
Aku terbangun dengan tubuh tertekuk, telanjang dan pegal, mendapati
dirinya tak ada di sampingku. Baju-bajuku masih berserakan di lantai.
Aku yakin, aku takkan menjumpainya lagi. Aku tak punya alamat, tak punya
nomor telepon yang bisa kuhubungi untuk mencapainya. Ia mirip omong
kosong angin yang berlalu setelah menghembus di sisi wajahku. Hanya
sebuah nama, yang dimiliki berjuta-juta orang. Satu kejapan mata
kemudian, kurasakan sebuah kerinduan.